“Yud, bangun!.
“Hmpppppppphhhh….”.
“Jadi ke Lok Baintan nggak?”
Matahari pelan-pelan mulai mengintip dari gelapnya malam. Dingin mulai berangsur hangat, tetapi selimut dan sarung yang melingkar di badan seolah mengikat saya untuk tidak beranjak dari kasur. Sepanjang perjalanan menuju Lok Baintan, saya hanya bisa merem melek saja, berusaha mengumpulkan sebagian nyawa yang masih melayang entah kemana. Tek-tok Palangkaraya – Banjarmasin ternyata nggak sesantai Bandung – Jakarta meskipun waktu tempuhnya relatif sama. Lebih banyak kelokan dan jaraknya lebih jauh, melintasi banyak kabupaten dan jembatan terpanjang di Indonesia (nanti lain kali saya ceritakan).
Suara ayam berkokok bak alarm, memanggil semua orang untuk segera bangkit dan beraktifitas. Ternyata, kami datang terlalu pagi, disaat semua orang masih terlelap. Kami memutuskan untuk mampir sebentar ke sebuah masjid yang terletak dekat Lok Baintan, menunggu para pedagang sekalian menunaikan Shalat.
Mungkin, banyak orang tahu tentang Pasar Terapung di Kalimantan. Apalagi, orang yang kerjannya hanya nonton televisi. Zaman saya sekolah dasar dulu, ada seorang nenek yang terkenal karena menjadi pusat perhatian di TVC salah satu Channel TV Swasta. Ketika kamera mendekat, si Nenek mengacungkan jempolnya sambil menjaga keseimbangan diatas sampan. Didalam sampan itu terdapat banyak sayur dan buah-buahan yang siap dijual. Tampak banyak orang disekitar si Nenek yang sepertinya melakukan aktifitas yang sama, yaitu berjualan. Mereka berjualan diatas sampan dan saling bertemu disatu titik, yaitu di tengah-tengah sungai Martapura.
Pukul lima. Suara ayam berkokok saling bersahutan, bak alarm yang memanggil semua orang untuk segera bangkit dan beraktifitas. Ternyata, kami datang terlalu pagi, disaat semua orang masih terlelap. Akhirnya kami memutuskan untuk mampir sebentar ke sebuah masjid yang terletak dekat Lok Baintan, menunggu para pedagang sekalian menunaikan Shalat Subuh.
Setelah satu jam menunggu, mulai tampak geliat kehidupan. Para petani bersiap pergi ke ladang, anak-anak berlarian menuju sekolah, dan ibu-ibu yang sibuk membawa kantung belanja. Berbeda dengan kami yang masih mengantuk karena menunggu pagi yang tak kunjung tiba.
Usai berunding, daripada ngantuk kami segera bergerak menyusuri gang-gang yang mengarahkan kami ke bantaran sungai Martapura. Semakin dalam, semakin jelas terdengar suara riuh seperti orang yang saling berteriak dan memanggil satu sama lain.
Sekian tahun lamanya, destinasi yang hanya bisa saya lihat dari televisi, saat ini tepat berada di depan mata, Pasar Terapung Lok Baintan. Puluhan, bahkan mungkin hampir seratus orang bertumpuk pada satu titik. Sulit untuk bergerak, karena sedikit bergerak saja pasti akan menabrak sampan yang lain. Tetapi sempitnya ruang antar sampan sepertinya memang disengaja, untuk mempermudah aktifitas jual beli. Jadi, semua pedagang yang ada disini rata-rata berbeda kampung, dan mereka menjual komoditas yang ada dikampungnya masing-masing. Disini, jual beli tak hanya menggunakan uang tunai saja tetapi ada juga yang saling bertukar atau barter. Menurut teman-teman ExploreBanjar, dulu banyak sekali pasar terapung yang ada di sungai-sungai Kalimantan, tetapi semakin kesini semakin berkurang akibat gempuran pasar-pasar modern yang mulai hadir di kota-kota besar. Sekali lagi, modernisasi melawan tradisi.
Menurut kabar terakhir, Nenek Farida (Nenek RCTI oke) sering sakit-sakitan dan sekarang tinggal di Kab Tanah Laut, Banjarmasin bersama anak-anaknya. Kabarnya, Nenek sekarang menjual gorengan dan kue-kue dikampung. Saat tampil di tv, Nenek diberi honor tampil sebesar Rp. 400 ribu, TV 14 inch, dan uang 1,4 juta.